Keberkahan dalam Hujan
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan
menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha
Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini
adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.[1]
Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah
Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan Kami turunkan dari langit air
yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan
biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9). Yang dimaksud
keberkahan di sini adalah banyaknya kebaikan.[2]
Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, haiwan dan
tumbuh-tumbuhan sangat memerlukannya untuk keberlangsungan hidup,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya),
“Dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al Anbiya’: 30). Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami
menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari
langit yaitu menghidupkan haiwan, tanaman dan pepohonan. Air hujan
inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”[3]
Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan
Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung.
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu
khuatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.”[4]
Kedua: Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah.
’Aisyah radhiyallahu ’
Ketiga: Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[6] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a
ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga
keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan,
dan (3) Saat hujan turun.”[7]
Keempat: Do’a ketika terjadi hujan lebat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan
hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada
Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdo’a, “Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal
aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy
syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk
meruosak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke dataran tinggi,
gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya
pepohonan].”[8]
Kelima: Do’a ketika terjadi angin kencang.
Dianjurkan bagi seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk
membaca do’a berikut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan ketika itu, “Allahumma inni as-aluka khoirohaa wa khoiro maa
fiihaa wa khoiro maa ursilat bihi, wa a’udzu bika min syarrihaa wa
syarri maa fiiha wa syarri maa ursilat bihi (Ya Allah, Aku memohon
kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku
memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu
dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku
berlindung dari keburukan yang diutus dengannya)”[9]
Keenam: Do’a ketika mendengar suara petir.
Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan
pembicaraan, kemudian mengucapkan, “Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi
hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan
para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya kerana rasa takut
kepada-Nya).”[10]
Ketujuh: Mengambil berkah dari air hujan.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan
bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga tersiram hujan.
Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan
demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kerana hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[11]
An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu
rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh kerana itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari
hujan tersebut.”[12]
Kelapan: Dianjurkan berwudhu dengan air hujan.
Dalilnya, “Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang
telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami
bersuci dengannya.”[13]
Kesembilan: Tidak boleh mencela hujan.
Sebahagian orang sering keluar dari mulutnya celaan, “Aduh!! hujan lagi,
hujan lagi”. Ketahuilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menasihatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat
berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu
yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan
angin kerana kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Manusia menyakiti Aku;
dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur
masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[14]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu
mencaci maki angin.”[15]
Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin
adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki
makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan
hujan adalah terlarang.[16]
Kesepuluh: Do’a setelah turun hujan
Do’anya adalah, “Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih (Kita diberi hujan kerana kurnia dan rahmat Allah).”[17]
Keringanan Ketika Turun Hujan
Pertama: Bolehnya meninggalkan shalat jama’ah di masjid ketika turun hujan.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat
hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh,
asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan
’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’
[Sholatlah di rumah kalian]. …”[18]
An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, ”Dari hadits di
atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat
jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk
meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang
dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul
ditekankan) apabila tidak ada udzur[19]. Dan tidak mengikuti shalat
jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan
(diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini
berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mahu, silakan mengerjakan
shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”[20]
Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah
menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat
berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan
perkataan Ibnu Baththol yang menyatakan bahawa hal ini adalah ijma’
(kesepakatan para ulama).[21]
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab
shahihnya, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan,
dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim
maupun safar :
Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian)
Alaa shollu fi rihaalikum artinya Hendaklah shalat di rumah kalian
Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian
An Nawawi mengatakan, “Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun
di tengah-tengah adzan kerana terdapat dalil mengenai dua model ini.
Akan tetapi, mengucapkannya sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan
yang biasa diucapkan tetap ada.”[22]
Kedua: Bolehnya menjama’ shalat ketika hujan deras.
Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau
berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan
shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan
dalam keadaan takut maupun safar.”[23] Yang meriwayatkan dari Abu Az
Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku
menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”
Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair
bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga
dikatakan, ”(Beliau menjama’) bukan kerana keadaan takut dan bukan pula
kerana safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat
Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan di
Madinah.”[24] Ertinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.
Beberapa point yang perlu diperhatikan:
Yang diperintahkan ketika hujan adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat) tanpa perlu mengqoshor.[25]
Jama’ dilakukan dengan imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah.[26]
Apabila shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu
setelah dijama;’, hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan
tidak perlu diulangi.[27]
Boleh menjama’ shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan Isya. Yang paling afdhol jika dilakukan dengan jama’ taqdim.[28]
Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang boleh
membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus
berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang
rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’
shalat ketika itu.[29]
Demikian panduan ringkas mengenai beberapa amalan dan keringanan dari
syariat ketika turun hujan. Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya
walaupun di tengah keterasingan. Hanya Allah yang memberi taufik.
[Muhammad Abduh Tuasikal][30]
_____________
Lihat tulisan ini selengkapnya di www.muslim.or.id dengan judul “Musim Hujan Telah Tiba”
anha berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban
nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]